Desember 5, 2024 08:09

Sejarah Pendidikan Islam dan Masa Depan Pendidikan Islam Indonesia
December 15, 2023

Penulis :

Roisa Toifaturrosyida, S.Pd
Unit/jenjang SDIT

Pendidikan adalah ujung tombak perbaikan bangsa. Banyak pakar menyatakan bahwa salah-satu cara untuk memperbaiki bangsa ini, baik secara moral, mental, sosial, budaya, politik, dan ekonomi, adalah dengan memperbaiki sistem pendidikan di negeri ini. Pendidikan merupakan investasi untuk masa depan. Kita tidak bisa mengharapkan perbaikan negeri ini secara instan. Harapan agar Indonesia menjadi bangsa yang besar, tidak mungkin dilakukan semudah membalikkan telapak tangan, perlu waktu dan proses. Dibutuhkan beberapa generasi untuk memulihkan Indonesia.

Ketika memimpikan tentang pendidikan masa depan, kita tidak dapat melepaskan sejarah masa lalu dan realitas yang melingkupi sekarang. Sejarah mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap pendidikan, hal ini berarti perkembangan pendidikan merupakan fungsi perkembangan sejarah masyarakat.

Pendidikan islam pada masa lalu terjadi pada lembaga-lembaga yang berupa Kuttab atau maktab, masjid jami’, madrasah, dar al-ilm, ribath, khanqah, zawiyah. Pendidikannya terjadi dalam sistem khalaqah.

Sepanjang sejarah perjalanan perkembangan pendidikan di dunia Islam, peradaban Islam pernah mencapai puncaknya ketika masa kekhalifahan Bani Abbasiyah yang dikenal dengan the golden age of Islam.[1] Salah satu institusi pendidikan Islam yang lahir pada masa Bani Abbasiyah adalah Perguruan (Madrasah) Nizamiyah. Perguruan ini didirikan oleh Nizam al-Mulk, perdana menteri pada kesultanan dinasti Saljuk pada masa Malik Syah, pada tahun 1066/1067 M. Ketika itu, lembaga pendidikan ini hanya ada di Kota Baghdad, ibu kota dan pusat pemerintahan Islam pada waktu itu. Kemudian, berkembang ke berbagai kota dan wilayah lain.

Di antaranya di Kota Balkh, Nisabur, Isfahan, Mowsul, Basra, dan Tibristan. Dan, kota-kota ini menjadi pusat studi ilmu pengetahuan dan menjadi terkenal di dunia Islam pada masa itu.

Philip K Hitti dalam Sejarah Bangsa Arab menulis, Madrasah Nizamiyah merupakan contoh awal dari perguruan tinggi yang menyediakan sarana belajar yang memadai bagi para penuntut ilmu. Madrasah Nizamiyah menerapkan sistem yang mendekati sistem pendidikan yang dikenal sekarang.Madrasah Nizamiyah merupakan perguruan pertama Islam yang menggunakan sistem sekolah. Artinya, dalam Madrasah Nizamiyah telah ditentukan waktu penerimaan siswa, kenaikan tingkat, dan juga ujian akhir kelulusan.

Selain itu, Madrasah Nizamiyah telah memiliki manajemen tersendiri dalam pengelolaan dana, punya fasilitas perpustakaan yang berisi lebih dari 6.000 judul buku laboratorium, dan beasiswa yang berprestasi.

Bidang yang diajarkan meliputi disiplin ilmu keagamaan (tafsir, hadis, fikih, kalam, dan lainnya) dan disiplin ilmu akliah (filsafat, logika, matematika, kedokteran, dan lainnya). Kurikulum Nizamiyah menjadi kurikulum rujukan bagi institusi pendidikan lainnya.

Namun, keberadaan Madrasah Nizamiyah ini hanya bertahan hingga abad ke-14, sebelum Kota Baghdad dihancurkan oleh tentara Mongol di bawah pimpinan Timur Lenk pada tahun 1401 M.[2]

Dalam pendidikan masa depan dan masa sekarang, UNESCO telah mencanangkan empat pilar pendidikan yang perlu dikembangkan oleh lembaga pendidikan, yaitu:

1. Learning to know (belajar untuk mengetahui), Guru seyogyanya berfungsi sebagai fasilitator. Di samping itu guru dituntut untuk dapat berperan sebagai teman sejawat dalam berdialog dengan siswa dalam mengembangkan penguasaan pengetahuan maupun ilmu tertentu.

2. Learning to do (belajar untuk melakukan sesuatu) akan bisa berjalan jika sekolah memfasilitasi siswa untuk mengaktualisasikan keterampilan yang dimilikinya, serta bakat dan minatnya. Walaupun bakat dan minat anak banyak dipengaruhi unsur keturunan namun tumbuh berkembangnya bakat dan minat tergantung pada lingkungannya. Keterampilan dapat digunakan untuk menopang kehidupan seseorang bahkan keterampilan lebih dominan daripada penguasaan pengetahuan dalam mendukung keberhasilan kehidupan seseorang.

3. Learning to be (belajar untuk menjadi seseorang) erat hubungannya dengan bakat dan minat, perkembangan fisik dan kejiwaan, tipologi pribadi anak serta kondisi lingkungannya. Bagi anak yang agresif, proses pengembangan diri akan berjalan bila diberi kesempatan cukup luas untuk berkreasi. Sebaliknya bagi anak yang pasif, peran guru dan guru sebagai pengarah sekaligus fasilitator sangat dibutuhkan untuk pengembangan diri siswa secara maksimal.

4. learning to live together (belajar untuk menjalani kehidupan bersama). Kebiasaan hidup bersama, saling menghargai, terbuka, memberi dan menerima (take and give), perlu ditumbuhkembangkan.[3]

Isu yang paling serius dan menantang dalam penyelenggaraan pendidikan Islam di Indonesia saat ini adalah bagaimana ia dapat mengartikulasikan nilai-nilai Islam tentang perdamaian dan toleransi dalam struktur kurikulum dan kelembagaan pendidikan. Isu besar ini akan tetap dihadapi oleh pendidikan Islam Indonesia di masa depan, seiring dengan dinamika perkembangan masyarakat global yang juga menghadapi isu serupa setelah berakhirnya perang dingin serta konflik yang berkepanjangan di Timur Tengah.

Menghadapi isu dan gejala radikalisasi kehidupan keagamaan itulah, maka sejumlah pakar dan praktisi pendidikan Islam Indonesia kembali menyerukan akan pentingnya upaya melakukan reorientasi kurikulum dan kelembagaan pendidikan Islam Indonesia, dengan harapan lembaga pendidikan Islam mampu berperan dalam menginternalisasi ajaran Islam tentang perdamaian, toleransi, dan cinta kasih.

Karena pendidikan Islam di Indonesia merupakan bagian tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional, maka pengembangan pendidikan Islam tidak bisa dilepaskan dari perkembangan sistem pendidikan nasional sebagai induknya. Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, disebutkan bahwa tujuan Pendidikan Nasional adalah Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[4]

Tanpa mengurangi makna dan idealitas tujuan tersebut, melihat kondisi dan kenyataan yang ada tampaknya akan sulit sekali suatu lembaga pendidikan, termasuk pendidikan Islam, untuk memenuhi tujuan Pendidikan Nasional tersebut. Namun demikian, sesuai dengan misi dan tantangan objektif yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia, mau tidak mau pendidikan Islam harus membawa misi ganda, yaitu di satu sisi pendidikan Islam harus mampu meningkatkan keimanan dan ketakwaan peserta didik, dan di sisi lain ia harus membekali mereka dengan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.

            Dengan misi yang demikian itu, maka corak masa depan pendidikan Islam Indonesia diarahkan pada (1) sistem pendidikan klasik, yang lebih menekankan pada upaya mencerdaskan bangsa secara umum, termasuk di dalamnya pengembangan budi pekerti dan akhlak al-karimah; dan (2) sistem pendidikan yang mengacu pada perencanaan tenaga kerja (man power planning). Dengan kata lain, kalau pendidikan Islam ingin mencetak peserta didik yang memiliki keunggulan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi modern, sekaligus mengembangkan pengetahuan dan pengahayatan mereka terhadap nilai-nilai ajaran Islam, mau tidak mau, pendidikan klasik yang bertumpu pada pendidikan pondok pesantren harus dibarengi dengan sistem madrasah/sekolah.

            Melihat pola pendidikan Islam yang berkembang di Indonesia, orientasi pendidikan yang diarahkan untuk mengembangkan dan meningkatkan pengetahuan dan penghayatan nilai-nilai ajaran Islam, tampaknya tidak menjadi problem yang begitu mendesak. Karena  peserta didik di lingkungan pendidikan Islam, baik pondok pesantren maupun pendidikan sekolah (dari Madrasah Ibtidaiyah hingga Perguruan Tinggi) sangat kondusif untuk mencapai orientasi tersebut. Justru isu (sekaligus tantangan) yang dihadapi secara serius adalah bagaimana pendidikan Islam mampu mempersiapkan peserta didik untuk bersaing di dunia kerja setelah mereka lulus. Tantangan ini sudah pasti mengharuskan para pelaku pendidikan Islam untuk melakukan reorientasi kembali di bidang kurikulum, terutama mengenai materi-materi dasar ilmu pengetahuan dan teknologi modern.

Memasuki milenium ke-3, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) mulai menjadi isu serius pendidikan Islam di Indonesia. Para pakar dan praktisi pendidikan Islam mulai merasa prihatin oleh mimimnya peran lembaga pendidikan Islam dalam penguasaan iptek. Dalam pandangan mereka penguasaan iptek mutlak diperlukan mengingat perkembangan global masyarakat modern tidak dapat dipisahkan dari iptek. Ada dua problem besar yang dihadapi oleh pendidikan Islam Indonesia berkenaan dengan isu penguasaan iptek.[5]

Kebijakan Dikhotomik

Problem pertama berkaitan dengan pandangan keilmuan yang dikotomis antara ilmu “ilmu-ilmu agama” di satu sisi dan “ilmu-ilmu umum” di sisi lain. Pandangan dikhotomik ilmu tersebut kemudian berimplikasi luas terhadap aspek-aspek kependidikan di lingkungan umat Islam Indonesia, baik yang menyangkut cara pandang umat terhadap ilmu dan pendidikan, kelembagaan pendidikan, kurikulum pendidikan, maupun psikologi umat pada umumnya.

Berkenaan dengan cara pandang umat Islam terhadap ilmu dan pendidikan, di kalangan masyarakat Islam Indonesia berkembang suatu kepercayaan bahwa hanya ilmu-ilmu agama Islam-lah yang pantas dan layak dikaji atau dipelajari oleh umat Islam, terutama anak-anak dan generasi mudanya. Sementara ilmu-ilmu sekuler dipandang sebagai sesuatu yang bukan bagian dari ilmu-ilmu yang layak dan patut dipelajari. Cara pandang dengan menggunakan perspektif oposisi biner terhadap ilmu secara ontologis ini, kemudian berimplikasi juga terhadap cara pandang sebagian umat Islam terhadap pendidikan. Sebagian umat Islam hanya memandang lembaga-lembaga pendidikan yang berlabel Islam yang akan mampu mengantarkan anak-anak dan generasi mudanya mencapai cita menjadi Muslim yang sejati demi mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Sementara itu, lembaga-lembaga pendidikan “umum” dipandang sebagai lembaga pendidikan sekuler yang tidak kondusif mengantarkan anak-anak dan generasi muda Islam menjadi Muslim sejati yang diidolakan orang tua.

Kontras dengan cara pandang di atas adalah pandangan yang juga dimiliki oleh sebagian umat Islam. Mereka lebih cenderung memilih lembaga-lembaga pendidikan umum dengan pertimbangan jaminan mutu serta jaminan pekerjaan yang bakal dipoeroleh setelah lulus. Bagi mereka ini, lembaga pendidikan yang berlabel Islam cenderung dipandang sebagai tradisional, ketinggalan zaman, dan oleh karena itu mutu dan kesempatan kerja setelah lulus tidak terjamin.

Realitas cara pandang umat Islam terhadap ilmu dan pendidikan itu, kemudian berimplikasi kepada respon para pengambil kebijakan pendidikan (Pemerintah) yang menetapkan adanya dua versi lembaga pendidikan, yakni pendidikan umum dan pendidikan agama. Pendidikan agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Dan dari aspek kelembagaan, pendidikan keagamaan merupakan pendidikan dasar, menengah, dan tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama. Sementara itu, pendidikan sekuler atau pendidikan umum merupakan pendidikan dasar dan menengah yang mengutamakan perluasan pengetahuan yang diperlukan oleh peserta didik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.[6]

Mencermati pengertian dan tujuan pendidikan agama dan pendidikan umum tersebut, terlihat jelas bahwa secara konstitusional, peraturan yang meregulasi bidang pendidikan di Indonesia bersifat dikhotomik dan diskriminatif. Meskipun UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dirumuskan sebagai perwujudan dari semangat reformasi, yang berupaya untuk menghilangkah berbagai kebijakan diskriminatif yang terjadi pada masa-masa pemerintahan sebelumnya, namun implementasi peraturan perundangan yang ada masih tetap terkesan dualistik, dikhotomik, dan diskriminatif.

Bukti dari perlakuan diskriminatif pemerintah terhadap lembaga-lembaga pendidikan umum di satu sisi dengan pendidikan keagamaan di sisi lain, adalah pada kebijakan dua kementrian/departeman, di mana Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengurusi lembaga-lembaga pendidikan umum dengan berbagai fasilitas dan dana yang relatif “melimpah”, sementara Kementerian Agama mengelola lembaga-lembaga pendidikan keagamaan dengan fasilitas dan pendanaan yang “amat terbatas”. Keterbatasan dana, fasilitas, sarana dan prasarana yang dimiliki oleh kebanyakan lembaga pendidikan di bawah Kementerian Agama tersebut tentu berpengaruh terhadap kinerja dan kualitas pendidikan di banyak Madrasah dan lembaga pendidikan sejenisnya. Akibatnya, pengelolaan Madrasah tidak dapat optimal dan seringkali menyebabkan mutu lulusan Madrasah kurang mampu bersaing dengan lembaga-lembaga setingkat yang berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Problem kedua pengembangan iptek di lingkungan pendidikan Islam terkait dengan kualifikasi guru dan tenaga pengajar. Problematika kualifikasi guru atau tenaga pengajar memang tidak hanya dihadapi oleh pendidikan Islam, melainkan sudah merupakan problem umum yang dihadapi oleh sistem pendidikan nasional. Namun di lingkungan lembaga pendidikan Islam Indonesia, problem ini dirasakan cukup serius. Di lingkungan lembaga pendidikan Islam, banyak ditemukan adanya  ketidaksesuaian (missmatch) antara kemampuan dan latar belakang pendidikan guru dengan materi pelajaran yang dipegangnya.[7]

            Seperti diketahui, para guru atau tenaga pengajar di lingkungan pendidikan Islam lebih banyak berasal dari lingkungan Perguruan Tinggi Agama Islam (IAIN dan PTAIS lainnya) yang kemampuan profesionalnya di bidang iptek kurang begitu memadai. Bahkan tidak jarang, akibat terbatasnya jumlah guru, materi-materi dasar iptek dipegang oleh mereka yang bukan ahlinya. Di Madrasah Aliyah, misalnya, tidak sedikit lulusan Fakultas Tarbiyah Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) yang memegang mata pelajaran Fisika, Biologi, Kimia dan lain-lain.

Masa depan pendidikan Islam Indonesia, harusnya mengarah pada:

Pertama, pendidikan integralistik yang berpandangan bahwa manusia merupakan pribadi jasmani-rohani, intelektual, perasaan dan individu-sosial. Pendidikan integralistik diarahkan untuk dapat menghasilkan manusia yang memiliki integritas tinggi, yang mampu mensyukuri segala nikmat dan karunia Tuhan; yang bisa menyatukan potensi dirinya; yang bisa menyatu dengan masyarakat; serta menyatu dengan alam lingkungannya. Dengan pendidikan yang integralistik ini, maka pandangan keilmuan yang dikhotomik serta kebijakan pendidikan yang dualistik setahap demi setahap dihilangkan.

Kedua, pendidikan humanistik yang memandang manusia sebagai manusia, yakni makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki fitrah dan potensi-potensi, yang menyadari bahwa fitrahnya perlu dijaga dan dipelihara, serta menyadari bahwa potensi-potensi yang ada pada dirinya perlu terus dikembangkan, sehingga ia dapat melangsungkan, mempertahankan dan mengembangkan hidupnya. Melalui pendidikan humanistik ini, pendidikan Islam di Indonesia diarahkan untuk mengakui dan menghormati pluralisme dan multikulturalisme.

Ketiga, pendidikan pragmatik yakni pendidikan yang memandang manusia sebagai makhluk hidup yang membutuhkan sesuatu untuk melangsungkan, mempertahankan dan mengembangkan hidupnya, baik yang bersifat jasmani maupun rohani. Melalui pendidikan yang pragmatis ini, maka kurikulum teknologi, keterampilan, dan life-skill lainnya akan semakin banyak diintroduksi oleh pendidikan Islam Indonesia. Keempat, pendidikan yang berakar budaya kuat, berarti pendidikan yang tidak meninggalkan akar-akar sejarah, baik sejarah kemanusiaan pada umumnya maupun sejarah suatu bangsa atau mesyarakat tertentu.

 

DAFTAR PUSTAKA

Buchori, Mochtar (1989). Pendidikan Islam di Indonesia: Problema Masa Kini dan Perspektif Masa Depan. Dalam Muntaha Azhari dan Abdul Mun’im Saleh (Penyunting). Islam Indonesia Menatap Masa Depan. Jakarta: P3M.

Djaelani, H.A. Timur (1980). Peningkatan Mutu Pendidikan dan Pembangunan Perguruan Agama. Jakarta: Dermaga.

http://dayanmaulana.blogspot.co.id/2010/06/empat-pilar-pendidikan-menurut-unesco.html

http://Mazqum.wordpress.com/2009/03/madrasah-nizamiyah-dan perkembangannya/

Mastuhu (1997). Menuju Paradigma Baru Pendidikan Indonesia. Dalam M. Dawam Rahardjo (Editor). Keluar dari Kemelut Pendidikan Nasional: Menjawab Tantangan Sumber Daya Manusia Abad 21. Jakarta: PT Intermasa.

Saefudin, Didin, Fauzan. 2002. Zaman Keemasan Islam. Jakarta: Grasindo.

Sularto, St (1990). Menuju Masyarakat Baru Indonesia: Antisipasi Terhadap Tantangan Abad XXI. Jakarta: PT Gramedia.

 

 

[1] Saefudin, Didin, Fauzan. 2002. Zaman Keemasan Islam. Jakarta: Grasindo.
[2] http://Mazqum.wordpress.com/2009/03/madrasah-nizamiyah-danperkembangannya/
[3]http://dayanmaulana.blogspot.co.id/2010/06/empat-pilar-pendidikan-menurut-unesco.html
[4]Mastuhu (1997). Menuju Paradigma Baru Pendidikan Indonesia. Dalam M. Dawam Rahardjo (Editor). Keluar dari Kemelut Pendidikan Nasional: Menjawab Tantangan Sumber Daya Manusia Abad 21. Jakarta: PT Intermasa.
[5] Sularto, St (1990). Menuju Masyarakat Baru Indonesia: Antisipasi Terhadap Tantangan Abad XXI. Jakarta: PT Gramedia.
[6] Djaelani, H.A. Timur (1980). Peningkatan Mutu Pendidikan dan Pembangunan Perguruan Agama. Jakarta: Dermaga
[7] Buchori, Mochtar (1989). Pendidikan Islam di Indonesia: Problema Masa Kini dan Perspektif Masa Depan. Dalam Muntaha Azhari dan Abdul Mun’im Saleh (Penyunting). Islam Indonesia Menatap Masa Depan. Jakarta: P3M.

TAGS

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Terkini

December 4, 2024

Populer