September 20, 2024 04:19

RITUS TEMPO
April 1, 2024

Penulis :

rizkaanfi

     Aqiqah, Al-I’dzar, Tasyakuran atau apapun sebutan bagi sebuah ritual keagamaan yang biasanya diselubungi oleh sebuah pengharapan akan tumbuhnya kebaikan didalamnya. Entah pengharapan akan gemah ripah loh jinawi, pengharapan akan toto tentrem karto raharjo ataupun pengharapan agar nantinya sebuah generasi menjadi generasi ulil albab dan qurrota a’yun semuanya telah menunjukan bahwa hakikatnya manusia hanya memiliki sedikit kapabilitas dalam hidupnya. Namun sepertinya ritus semacam itu kian memudar di zaman yang semakin dikatakan modern ini kegiatan tersebut hanya dianggap penghambat kemajuan. Manusia lebih percaya usaha yang berhubungan dengan realita daripada usaha yang berhubungan dengan niskala, itu hanya dongeng yang menina bobokan sang pemimpi hingga ia semakin hanyut dan tenggelam dalam mimpi, anggapnya.
     Ia gunakan apapun yang ia miliki untuk mendapatkan kemajuan, ia gunakan tangan untuk mengatur segalanya padahal ia sendiri tak tahu darimana asalnya. Ia gunakan kaki yang jika sendinya tak lagi elastis maka tak mungkin ia bisa melangkah, berjalan, berlari menjemput rizqi. Manusia sadar akan keterbatasan itu namun uniknya manusia tetap saja pongah dan menutup mata terhadap maujudNya. Mereka tetap bekerja sebagai Tuhan yang ketika berkata “Jadilah!” maka apapun itu harus jadilah ia seakan dengan kuasa dan kehendaknya semua bisa terjadi sesuai rencana. Tak peduli akankah melumuri tangan dengan yang halal saja atau mengambil yang haram pula agar lebih mulus melancarkan akal bulus. Ia melakukan semua hal yang disebutnya sebagai usaha untuk mencapai tujuan. Sayang usaha itu tak dibarengi dengan keyakinan akan adanya kekuatan yang berasal dari Tuhan.
     Ketika semua harapan itu tak terwujud maka hadir 2 kemungkinan yang terjadi, pertama; ia memilih untuk terpuruk dalam drama Qais dan Layla atau kedua; ia memilih untuk kembali bangkit menengadah, mengerjakan semua ritus yang ada dan kembali berharap kepada Sang Kuasa. Manusia yang memilih terpuruk dalam kesedihan dan patahnya hati tak kan mendapatkan perubahan karena Tuhan pun tak akan merubah jika ia memang tak mau. Tuhan akan biarkan ia dalam nestapa sebagai buntut dari apa yang ia lakukan namun jika mau Tuhan tak akan sekejam itu, mungkin Tuhan akan lebih baik dari yang ia harap. Dan bagi manusia yang kembali bangkit serta menyusuri jalan- Nya, melaksanakan perintah- Nya, menemani usaha dengan do’a tanpa putus asa maka Tuhan akan beri ia bunga ketika ia minta daun, Tuhan akan beri ia buah ketika ia minta bunga.
     Saat Tuhan melihat hamba- Nya cemas akan harapan, khawatir akan masa depan namun tetap mengucapkan do’a meski lelah disaat itulah Tuhan menguji sekaligus mengangkat derajat manusia. Ketika manusia lelah akan hasil yang dibawah rerata, cemas akan kekasihnya benarkah akan ia miliki? khawatir akankah esok atau lusa ia tetap hidup? Hidup dengan lebih baik kah? Atau lebih buruk kah ? disaat itu Tuhan ingin melihat ikhtiar yang manusia lakukan. Tuhan ingin lebih lama mendengar do’a yang dipanjatkan. Tuhan hanya ingin manusia menunggu dengan tenang, sabar, tak bosan dengan ritual yang ditetapkan karena pada hakikatnya dengan ritus itulah manusia akan selalu dekat dengan Tuhan.
     Sejenak kita putar waktu, di setting tempat yang tak sejuk dan seramai Jogja. Di dekat pesisir pantai dengan udara hangatnya, saat dimana bertemu dengan keluarga bukan hal yang susah karena tak ada jarak pemisah.
“ Nak, besok kita buat syukuran ya. Kita undang tetangga untuk makan tumpeng bersama”. Kata ibu dengan membelai rambutku
“ Untuk apa bu? Untuk mensyukuri apa yang baru saja aku dapat ? bukan kah dengan sholat itu sudah menunjukkan bahwa kita telah bersyukur atas apa yang Ia beri?“. tanyaku heran
“ Iya, sholat juga salah satu bentuk syukur kita, tapi bukankah sholat itu kebutuhan kita? Kalau kamu tidak mendapatkan karunia dan mendapatkan musibah apa kamu akan tidak sholat? Bagaimanapun kondisimu, sholat harus selalu kamu lakukan, karena itu berkaitan dengan hubunganmu dan yang Kuasa. Tapi ketika kamu mendapat nikmat yang lebih tak apalah kita membaginya dengan orang di sekitar kita. Berbagi kebahagiaan bersama toh kita juga tidak rugi dengan syukuran ini kita bisa meningkatkan interaksi dengan tetangga itu salah satu manfaatnya”.
     Akhirnya ritus memang penting bukan hanya yang bersifat devosi pribadi tapi juga ritus sosial karena pada dasarnya sifat individual dan sosial harus saling seimbang. Itulah kenapa Tuhan menciptakan ritus dengan berbagai macam agar kita mampu menyeimbangkannya dan tidak berat sebelah apalagi meninggalkannya. Manusia bukanlah robot atau pun mesin dan Tuhan juga tidak melihatnya seperti itu. Manusia telah diberi kebebasan untuk memilih, melaksanakan titah atau melanggarnya, untuk berusaha atau berputus asa. Yang pasti hanya Tuhan yang memiliki otoritas atas segala peristiwa yang terjadi di langit dan bumi.
     Lalu dimana peran manusia atas terjadinya segala peristiwa? Manusia bisa berupaya dengan seluruh ruh dan wujudnya untuk memasukan keinginan dalam sebuah kertas, melipatnya, memasukannya pada do’a pengharapan. Dan pada tempo yang telah Tuhan tetapkan maka akan Ia beri sebaik-baik langkah tumbuh setelah patah terluka. Sungguh Tuhan tidak menutup mata atas usaha dan do’a yang telah manusia lakukan, hanya saja…
Maukah kamu menanti dengan bahagia?
Tuhan hendak menkekalkan senyummu dengan rasam- Nya
Maka tunggulah.

TAGS

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Terkini

September 19, 2024

Populer