Desember 27, 2024 10:00

HIKMAH TENTANG IKHLAS
June 14, 2024

Penulis :

KHOIRUL FATAH S.HI
Unit/jenjang SMPIT

Dari segi istilah, ikhlas adalah seluruh ibadah yang diniatkan hanya kepada Allah SWT, bukan yang lain. Orang yang ikhlas tidak akan mengharap pujian dari sesamanya. Lawan kata ikhlas adalah pamrih atau riya yang artinya mengharapkan pujian dari manusia.

Dalam sebuah hadits riwayat Abu Dawud dan An-Nasa’i dikatakan bahwa Allah SWT tidak akan menerima amal perbuatan kecuali yang dilakukan dengan ikhlas.

Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak menerima amal perbuatan, kecuali dilakukan dengan ikhlas dan mengharap ridho-Nya.” (HR. Abu Dawud dan An-Nasa’i).

Penjelasan lebih lanjut mengenai makna ikhlas juga termaktub dalam QS. Al-An’am ayat 162-163 sebagai berikut:

قُلْ إِنَّ صَلَاتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ (162) لَا شَرِيكَ لَهُۥ ۖ وَبِذَٰلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا۠ أَوَّلُ ٱلْمُسْلِمِينَ (163)

Artinya: “Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)” (QS. Al-An’am: 162-163).

Apakah hidup anda sesak, hidup anda dipenuhi dengan kekecewaan, iri, dengki dan sakit hati ?

Sebagai manusia tentunya setiap orang melakukan kegiatan dan amalan setiap harinya, dan dalam kegiatan sehari hari tentu tidak akan lepas dari berhubungan atau berinteraksi dengan manusia dalam kegiatan kita, baik dalam lingkup keluarga pekerjaan, lingkup lingkungan atau tetangga, dll.
Kadang dalam interaksi dalam kegiatan-kegiatan tersebut kita mendapatkan ketersinggungan dengan beragam  manusia. maka kalau anda merasa mudah tersinggung dan marah, atau iri dan dengki dengan orang lain, maka periksa kembali niatan yang ada di dalam hati kita masing-masing.
Sebagai seorang muslim sudah sepantasnya jika sebisa mungkin kita meniatkan segala kegiatan, seperti sholat, zakat, haji, bekerja, berdakwah, bergotong royong di kampung, kita niatkan untuk ibadah. Untuk mendapat Kebahagiaan yang KEKAL di Akhirat, bukan dunia yang singkat dengan kenikmatan penuh cela. karena Allah Berfirman: “Dan barangsiapa menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh, sedangkan ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang Usahanya dibalasi dengan baik.” (Al-Isra`: 19).

 

 

 

Agar amal kegiatan kita bernilai dan dicatat sebagai ibadah maka hal yang harus ada adalah Niatan yang Ikhlas untuk Allah taala.
Allah ta`ala berfirman tentang ikhlas dalam ibadah :
Dan tidaklah mereka diperintah kecuali untuk beribadah kepada Allah dalam keadaan mengikhlaskan agama bagi-Nya. (Al Bayyinah : 5) dan
Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda :
“Amalan-amalan itu hanyalah tergantung dengan niatnya. Dan setiap orang hanyalah mendapatkan sesuai dengan apa yang dia niatkan. Maka siapa yang amalan hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya itu karena Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin ia peroleh atau karena wanita yang ingin ia nikahi maka hijrahnya itu kepada apa yang dia tujukan/niatkan”.

Kembali lagi kepada perasaan Sakit Hati tadi, misalkan anda Suami yang bekerja, anda sudah bekerja dengan tepat waktu dan sebaik mungkin, tiba-tiba rekan kerja anda ada yang menuduh dan menjatuhkan anda dengan mencela hasil kerjaan anda. maka kalau ada kejadian seperti ini dan sudah mulai timbul kemarahan dari diri anda maka LIHAT KEMBALI NIATAN ANDA… Apa niatan anda dalam bekerja?? untuk mencari ridho Manusia atau Mencari Ridho Allah dengan bekerja mencukupi kebutuhan Keluarga?? Kalau anda ikhlas untuk Allah maka anda tidak akan peduli, tidak akan sakit hati dengan tuduhan tersebut. Hadapi dengan kepala dingin toh Selama ini kita sudah bekerja dengan seAMANAH mungkin.

Misal lagi untuk muamalah dalam lingkup suami istri, Istri pagi sudah bangun pagi untuk masak, suami habis subuh tidur lagi. setelah selesai masak bangunin suami untuk makan. Tiba-tiba sang suami bilang: “Aku gak mau makan, Sayurnya nggak enak!”. Gimana perasaan istri tergantung NIATANnya dari pertama kali masak… UNTUK APA ANDA MEMASAK?? untuk mencari ridho suami atau mencari ridho Allah dengan menjalankan kewajiban dari seorang istri?? Kalo istri tersebut ikhlas maka tidak tidak perlu dia marah, sakit hati, toh dia sudah berusaha sebaik mungkin untuk memasak, tinggal diperbaiki dan disesuaikan dengan selera suami. dalam keadaan tenang, tanpa Sakit hati bahkan Marah.

Contoh lagi Konsep Keikhlasan dalam Lingkup dakwah, misal kita sebagai panitia pengajian yang dulu jadi ketua seksi acara dipindah oleh ketua menjadi seksi keamanan atau parkir, karena ada orang yang lebih baik di posisi tersebut, maka tanpa konsep keikhlasan orang ini akan sakit hati, dengki bahkan Ngambek untuk keluar dari kepanitiaan Kajian Islam. Padahal Berdakwah adalah salah satu ibadah yang sangat mulia. maka kembali dalam situasi seperti ini maka Tanyakan pada diri anda UNTUK APA ANDA IKUT TAAWUN (Kerja Sama) DALAM DAKWAH?? Apakah untuk mencari Pujian manusia, untuk mencari Kedudukan Atau Ikhlas Untuk mencari Ridho dan Pahala dari Allah di Surga?? kalau dia ikhlas maka dia tidak akan kecewa dengan turunnya kedudukan di sistem kepanitiaan. Dimanapun posisi dia dia akan ikhlas menjalankan tugas dengan semangat, dengan mengharap ridho Allah semata.
Maka KESIMPULANNYA:
Ketika melakukan sesuatu untuk manusia, jangan mengharapkan ucapan terima kasih ataupun balasan dari mereka namun berharaplah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga engkau tidak peduli mereka mau berterima kasih atau tidak dengan apa yang telah engkau lakukan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang ucapan hamba-hamba-Nya yang khusus:
إِنَّماَ نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللهِ لاَ نُرِيْدُ مِنْكُمْ جَزآءً وَلاَ شُكُوْراً
“Kami memberi makan kepada kalian hanyalah karena mengharap wajah Allah, kami tidak menginginkan dari kalian balasan dan tidak pula ucapan terima kasih.” (Al-Insan: 9)

Tiga Tingkatan Ikhlas Menurut Syekh Nawawi Banten   Sudah menjadi maklum bahwa ikhlas merupakan satu syarat diterimanya amal ibadah seseorang. Tanpa keikhlasan sebaik apapun amal yang dilakukan oleh seorang mukmin tak akan ada nilainya di sisi Allah subhânahû wa ta’âlâ. Di dalam kitab At-Ta’rîfât karya Ali Al-Jurjani disebutkan bahwa ikhlas adalah engkau tidak mencari orang yang menyaksikan amalmu selain Allah. Ikhlas juga diartikan membersihkan amal dari berbagai kotoran (Ali Al-Jurjani, At-Ta’rîfât, hal. 14). Dalam berbagai kesempatan kajian ilmiah Prof. Dr. M. Qurais Shihab seringkali memberikan satu gambaran tentang ikhlas dengan sebuah gelas yang penuh air putih. Tak ada sedikit pun yang ada dalam gelas itu selain murni air putih belaka, tanpa tercampuri apa pun. Itulah yang disebut dengan ikhlas. Seseorang melakukan satu amalan hanya karna Allah semata, tak ada satu pun motivasi lain yang mencampurinya. Tak ada harapan surga, tak ada keinginan enaknya hidup di dunia, semua murni karena menghamba kepada Allah saja. Meski demikian ada kriteria tertentu di mana seseorang melakukan suatu amalan dengan motivasi tertentu namun masih dikategorikan sebagai ikhlas. Syekh Muhammad Nawawi Banten di dalam kitabnya Nashâihul ‘Ibâd membagi keikhlasan ke dalam 3 (tiga) tingkatan Dalam kitab tersebut beliau memaparkan bahwa tingkatan pertama yang merupakan tingkat paling tinggi di dalam ikhlas sebagai berikut:

فأعلى مراتب الاخلاص تصفية العمل عن ملاحظة الخلق بأن لا يريد بعبادته الا امتثال أمر الله والقيام بحق العبودية دون اقبال الناس عليه بالمحبة والثناء والمال ونحو ذلك

Artinya: “Tingkatan ikhlas yang paling tinggi adalah membersihkan perbuatan dari perhatian makhluk (manusia) di mana tidak ada yang diinginkan dengan ibadahnya selain menuruti perintah Allah dan melakukan hak penghambaan, bukan mencari perhatian manusia berupa kecintaan, pujian, harta dan sebagainya.” Pada tingkatan ini orang yang melakukan amalan atau ibadah tidak memiliki tujuan apapun selain hanya karena menuruti perintah Allah semata. Ia menyadari bahwa dirinya adalah hamba atau budaknya Allah sedangkan Allah adalah tuannya. Maka baginya sudah selayaknya seorang hamba taat dan patuh serta menuruti apapun yang diperintahkan oleh tuannya tanpa berharap mendapatkan imbalan apapun. Orang yang beramal dengan keikhlasan tingkat ini sama sekali tak terpikir olehnya balasan atas amalnya itu. Pun ia tak peduli apakah kelak di akhirat Allah akan memasukkannya ke dalam surga atau neraka. Ia hanya berharap ridlo Tuhannya. 

 

Adapun tingkatan ikhlas yang kedua Syekh Nawawi menuturkan lebih lanjut:

 والمرتبة الثانية أن يعمل لله ليعطيه الحظوظ الأخروية كالبعاد عن النار وادخاله الجنة وتنعيمه بأنواع ملاذها

Artinya: “Tingkat keikhlasan yang kedua adalah melakukan perbuatan karena Allah agar diberi bagian-bagian akhirat seperti dijauhkan dari siksa api neraka dan dimasukkan ke dalam surga dan menikmati berbagai macam kelezatannya.” Pada tingkatan kedua ini orang yang beramal melakukan amalannya karena Allah namun di balik itu ia memiliki keinginan agar dengan ibadahnya kelak di akherat ia akan mendapatkan pahala yang besar dari Allah. Ia beribadah dengan harapan kelak di hari kiamat terselamatkan dari berbagai keadaannya yang mengerikan, terlindungi dari panas yang menyengat, dimudahkan hisabnya, hingga pada akhirnya ia tidak dimasukkan ke dalam api neraka tapi sebaliknya Allah berkenan memasukkannya ke dalam surga sehingga ia dapat menikmati berbagai fasilitas yang tiada duanya. Beribadah dengan niat dan motivasi seperti ini masih dikategorikan sebagai ikhlas, hanya saja bukan ikhlas yang sesungguh-sungguhnya ikhlas. Keikhlasan seperti ini ada pada tingkatan kedua di bawah tingkat keikhlasan pertama. Ini diperbolehkan mengingat Allah dan Rasulullah sangat sering memotivasi para hamba dan umatnya untuk melakukan amalan tertentu dengan iming-iming pahala yang besar dan kenikmatan yang luar biasa di akhirat kelak. Lebih lanjut Syekh Nawawi menuturkan: والمرتبة الثالثة أن يعمل لله ليعطيه حظا دنيويا كتوسعة الرزق ودفع المؤذيات 

Artinya: “Tingkatan ikhlas yang ketiga adalah melakukan perbuatan karena Allah agar diberi bagian duniawi seperti kelapangan rizki dan terhindar dari hal-hal yang menyakitkan.” Tingkat keikhlasan yang ketiga ini adalah tingkat keikhlasan yang paling rendah di mana orang yang beribadah dilakukan karena Allah namun ia memiliki harapan akan mendapatkan imbalan duniawi dengan ibadahnya itu. Sebagai contoh orang yang melakukan shalat dluha dengan motivasi akan diluaskan rejekinya, aktif melakukan shalat malam dengan harapan akan mendapatkan kemuliaan di dunia, banyak membaca istighfar agar dimudahkan mendapatkan keturunan dan lain sebagainya. Hal yang demikian ini masih tetap dianggap sebagai ikhlas karena agama sendiri menawarkan imbalan-imbalan tersebut ketika memotivasi umat untuk melakukan suatu amalan tertentu. Hanya saja tingkat keikhlasannya adalah tingkat paling rendah. Lalu bagaimana bila seorang yang beribadah atau melakukan suatu amalan dengan motivasi selain tiga hal di atas? Semisal orang beribadah dengan harapan akan dipuji dan dianggap orang lain sebagai orang yang taat, mencari ilmu dengan harapan akan dihormati orang lain sebagai orang yang alim, bersedekah dengan harapan akan mendapatkan suara banyak dalam pemilihan lurah, kepala daerah atau wakil rakyat. Masih menurut Syekh Nawawi bahwa yang demikian itu termasuk sikap riya yang tercela, bukan ikhlas. Beliau menegaskan: وما عدا ذلك رياء مذموم

Artinya: “Selain ketiga motivasi di atas adalah riya yang tercela.” 

 

 

 

Berikut 10 manfaat ikhlas dikutip dari buku Memaknai Kehidupan oleh Abdul Hamid:

1. Mendapat pahala dari Allah SWT
2. Hati menjadi tenang dan ibadah menjadi lancar
3. Menjadi manusia yang pemaaf
4. Tidak mudah marah dan tidak diperdaya oleh amarah
5. Selalu disayangi dan disenangi orang lain
6. Dijauhkan dari sifat-sifat kotor seperti ujub, takabur, dan iri
7. Hati selalu lapang dan terasa ringan dalam menjalani hidup
8. Selalu bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah SWT dan menerima Qada dan Qadar Allah
9. Menjadi sosok yang hebat dan kuat
10. Mendapat kemuliaan di sisi Allah SWT

Sahabat hikmah, sebagai hamba Allah sudah sepatutnya kita menjalankan segala perintah-Nya dengan penuh keikhlasan dan semata-mata hanya untuk menggapai ridho-Nya.

Sebagai akhir teruntai doa kepada Rabbul ‘Izzah :
“Ya Allah, perbaikilah bagiku agamaku yang agama ini merupakan penjagaan perkaraku, dan perbaikilah bagiku duniaku yang aku hidup di dalamnya, dan perbaikilah bagiku akhiratku yang merupakan tempat kembaliku, dan jadikanlah hidup ini sebagai tambahan bagiku dalam seluruh kebaikan, dan jadikanlah kematian sebagai peristirahatan bagiku dari seluruh kejelekan.” (HR. Muslim)
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.

TAGS

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Terkini

December 27, 2024

Populer