September 20, 2024 09:51

Memaknai Puisi “Hujan Bulan Juni” Karya Sapardi Joko Damono Melalui Kacamata Islami
June 14, 2024

Penulis :

Moh. Syaiful Huda, S.Pd.
Unit/jenjang SMAIT

Memaknai Puisi “Hujan Bulan Juni” Karya Sapardi Joko Damono Melalui Kacamata Islami

 

Penulis: Moh. Syaiful Huda, S.Pd.

 

Apa yang istimewa dari puisi “Hujan Bulan Juni” ini? Mungkin itu pertanyaan yang muncul pertama kali di benak kita sebelum mengenal lebih jauh makna puisi karya alm. Sapardi Joko Damono. Di kalangan sastrawan, penikmat puisi, akademisi, dan bahkan artis kenamaan Indonesia. Puisi Sapardi ini ibarat samudra luas yang menyimpan banyak kehidupan menakjubkan di dalamnya. Pada puisi inilah Sapardi menggambarkan sosok yang tabah, bijak, dan arif menanti kembalinya orang yang dicintai. Sebelum lebih jauh memaknai puisinya, alangkah lebih baik pula kita ingat paribasan satu ini “Tak kenal maka tak sayang”. Maka mari kita mengenal penyairnya, supaya ‘pesan cinta’ yang beliau sampaikan membekas di hati kita.

 

Sapardi Joko Damono adalah penyair dan pujangga Indonesia yang telah banyak menciptakan karya-karya fenomenal. Ia lahir di Surakarta, 20 Maret 1940. Sejak muda ia sudah gemar menulis. Saat SMA Sapardi mengambil jurusan sastra dan melanjutkan ke jenjang kuliah di Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Kemudian ia melanjutkan studi non gelar di University of Hawaii. Sapardi menempuh gelar doktornya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia dan lulus pada tahun 1989. Adapun karya-karya beliau berikut: Duka-Mu Abadi (1986), Perahu Kertas (1983), Hujan Bulan Juni (1994), Pengarang Telah Mati (2001) dan lainnya.

 

Kembali pada pembahasan di awal, puisi yang berjudul “Hujan Bulan Juni” ini mempunyai makna yang begitu luar biasa dan mendalam untuk generasi muda saat ini. Terlebih lagi karakter yang digambarkan dalam puisi tersebut adalah sosok yang tabah-dilihat dari bait pertama larik pertamanya. Berbunyi Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni kata tabah dalam hal ini adalah makna sesungguhnya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring tabah bermakna tetap dan kuat hati menghadapi berbagai cobaan atau ujian. Penggunaan majas personifikasi pada larik tersebut, seolah hujan bulan Juni mempunyai sifat-sifat hidup seperti manusia. Pada kajian sastra yang lebih tinggi hujan di bulan Juni dimaknai kondisi yang jarang terjadi.

 

Pada larik berikutnya, dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu menggambarkan seorang yang merahasiakan perasaan rindunya kepada orang yang istimewa. Kata merahasiakan juga bisa dimaknai menyembunyikan, tidak ia sampaikan langsung kepada seseorang yang indah bagai pohon berbunga itu. Sehingga bait pertama ini menggambarkan seorang yang tabah dengan menyembunyikan perasaan rindunya kepada sosok istimewa yang ia cintai.

 

Pada bait kedua berbunyi Tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Juni. Kata bijak menurut KBBI Daring bermakna pandai, mahir, dan selalu menggunakan akal budinya dalam melakukan sesuatu-larik berikutnya; Dihapuskannya jejak-jejak kakinya yang ragu di jalan itu. Kata dihapuskannya bisa dimaknai menghilangkan, ditulis dengan majas personifikasi. Penulis menggambarkan seseorang juga harus bijak menghilangkan keraguan dalam penantiannya. Menggunakan segenap kepandaian dan akal budinya untuk tidak putus asa menghadapi keraguan yang datang.

 

Berikutnya pada bait ketiga berbunyi Tak ada yang lebih arif dari hujan bulan Juni. Kata arif mempunyai makna berilmu, paham, dan mengerti bahwa tidak mungkin seseorang itu mengerti akan segala hal. Sehingga, pada larik berikutnya berbunyi Dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu. Kata dibiarkannya adalah makna sesungguhnya yang diperuntukkan pada perasaan rindu yang tidak bisa disampaikan kepada pujaan hati. Penulis menggambarkan seorang yang ikhlas terhadap perasaan cintanya sehingga membiarkan atau merelakan rasa rindu itu hilang diserap.

 

Pengulangan bunyi hujan bulan Juni memberikan penegasan bahwa penantian yang dialami tokoh dalam puisi tersebut sangat berat, sulit, dan panjang. Sehingga dalam bait terakhir, penulis menyampaikan bahwa segala hal yang dialami harus didasari dengan sikap arif atau berilmu. Bait terakhir ini sangat penting karena hanya dengan ilmulah seseorang bisa ikhlas, bijaksana, dan selamat. Apabila dikorelasikan dengan dalil agama, maka ada sebuah hadits yang mafhum di kalangan Islam yaitu:

 

مَنْ أَرَادَ الدُّنْيَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ, وَمَنْ أَرَادَ الأَخِرَةَ فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ, وَمَنْ أَرَادَهُمَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ

 

Artinya: “Barangsiapa yang menginginkan (kebahagiaan) dunia, maka hendaknya dengan Ilmu. Dan barangsiapa yang menginginkan (kebahagiaan) akhirat, maka hendaknya dengan Ilmu.”

 

Pada akhirnya, puisi di atas erat sekali dengan pesan-pesan Islami. Bahwa gejolak cinta seringkali membuat manusia tidak bisa merasakan kebahagiaan jika tidak bersama dengan orang yang dicintainya. Sehingga, Sapardi dalam puisi ‘Hujan Bulan Juni’ berpesan bahwa dengan sikap-sikap Islami (tabah, bijak, dan arif) ini lah sepasang kekasih yang sedang berjauhan atau istilah gaulnya LDR bisa merasakan kebahagiaan. 

 

TAGS

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Terkini

September 20, 2024

Populer