eringat kira-kira sekitar 2 tahun lalu, kala itu awal saya bekerja. Selang tiga bulan setelah saya ditetapkan menjadi tenaga pengajar, akhirnya saya menetapkan menyerah tanpa syarat. Ku sampaikan kegalauan hatiku pada ibuku, dengan hati-hati ku bilang bahwa saya ingin pindah dari tempat ini. Sudah gak kuat rasanya. Kulontarkan kata seriusku itu. “Nduk, kapan awakmu entuk rizki sing berkah, nek amanah wae dihandari terus, dicoba disik, deloen, amati, lakoni, lan nikmati wae, insya Allah kepenak dewe. Kabeh kerjaan kuwi ana rekasane, gak sah cepet2 mutusne metu disik.” Tapi apa, tak ada jawaban yang memuaskan dari ibuku (menurut versiku). Sebaliknya ibuku tak sependapat denganku, mungkin karena terlalu seringnya saya pindah tempat kerja. Karena kalimat dari ibuk itulah saya mencoba berdamai dengan keadaan, gak ada salahnya dicoba lagi.
Hari demi hari saya mencoba cara, persis apa yang dikatakan ibu. Mungkin ibu benar, karena seringnya saya menghindari masalah dengan cara instan, yaitu meninggalkan begitu saja. Sehingga selama ini tidak ada persinggahan yang tetap dalam dunia kerjaku. Enam bulan sudah kujalani, dan nyaris nasihat ibu tak membekas di hati. Melihat, merasakan, dan menikmati gak ada artinya. Kesempatan untuk hengkang itu semakin kuat, ketika ada salah instansi yang memanggilku untuk interview. Betapa girangnya diri waktu itu. Tapi sayang… Karena salah satu tenaga di situ wali murid sehingga beliau tahu akan kondisi saya waktu itu, dan berpesan kepada Sang Kepala “Ustad, ibaratnya kita meminang, kalau orang yang mau kita pinang ternyata sudah milik orang hukumnya haram ustad.” Rasanya tu mak jleb banget. Cukup sudah, memang saya harus mematuhi kata-kata ajaib ibu. Semakin lama semakin kuamalkan apa yang telah dipetuahkan ibu saya, semakin kunikmati hari-hari bersama mereka 24 jam bergelut dengan mereka, memang bukanlah perkara mudah, tapi ketika kita memasukka roh kita di sana yang ada hanyalah ucapan syukur yang tiada hentinya. Besyukur karena telah memberikan banyak pembelajaran hidup, kebahagiaan kecil itu selalu ada.
Dalam lingkup kerja, tak bisa kita menghindari rasa jenuh yang mulai melilit, deadline yang seabrek, pikiran semakin judek. Kembali kureguk rasa itu. Rasa ingin lari sejauh-jauhnya semakin kuat di benak diri. Kembali kulontarkan keinginan pergi dan menetap di rumahku itu ke ibu. Kali ini kuberikan alasan yang lebih jitu lagi, supaya terlihat meyakinkan. Yaitu, “kayaknya saya harus kerja dekat rumah saja, mengingat adik yang sudah beranjak kelas 9, tidak akan ada orang rumah yang memerhatikan belajarnya” kata-kata manis ini kusampaikan ke ibu, setelah 1,5 tahun bekeja masih di tempat sama. Supaya ibu tersanjung akan niat baikku. Dan berharap menyetujui proposal anehku itu. Yakin dan pasti bahwa ibu akan menyetujui alasan baikku itu, ternyata nihil. Restu itu tak kunjung kudapat, malah sebaliknya, kata-kata super Wooouwww yang muncul dari wonder womenku itu “Lah opo maneh to yan, ono opo? Nduk, gak usah sing aneh2.. Yo bener niatanmu kuwi, tapi nduk… Ibarate sawah adikmu wis ono sing ngicir, nyiram, mupuk…sampek piye bisane dadi unggul, apik. Semono ugo awakmu sawahmu wis ning kono yi saiki openi, sirami, pupuki, rumati sampek dadi apik, unggul. Jo malah durung apik, durung panen wis ditinggal mlayu, lakononi gaweanmu kanti tuntas jo mung separuh, nggarai tuman sak lawase.”
Hermm…. Sudahlah, tak ada lagi daya dan upaya apalagi olah-alih kata, semakin tidak bisa. Ibuky selalu bisa mematahkan segalanya, sampai akhirnya saya tidak mampu lagi mengeluarkan jurus ampuh lainnya. Menyerah. Semakin lama semakin kubenarkan kata beliau, semakin kurenungi semakin miris melihat diri sendiri. Diri yang lemah, rapuh, seolah tiada guna. Semakin sungkan sama orangtua, mereka sudah tua tapi masih perkasa tenaga dan pikirannya. Sedang aku? Astaghfirullah… Mungkin seperti itulah hakikatnya kita sebagai pendidik mereka. Menanam, memupuk, menyiram demi mendapatkan bibit-bibit unggul, nan kuat. Ya… Mungkin seperti itulah adanya aku di sini. Siapa lagi yang melakukan demikian kalau bukan kita, gurunya. Merekalah amanah kita.
Pengalaman dalam bergelut di dunia pendidikan mungkin masih cetek bagiku, belum sampai berpuluh2 tahun seperti beliau-beliau para guru yang sudah luar biasa hebatnya, mendidik anak2 hingga berhasil. Masih harus tetap belajar untuk memperbaiki segalanya.
Setahun setelahnya, entah menguji ketahanan keteguhan hati ini, atau memang permintaan dari orangtua yang merindukan anaknya yang sedang dalam masa perantauan. Ibu memintaku untuk bekerja di rumah saja, masalah gaji insya Allah lebih meyakinkan. Galaulah diriku dengan pernyataan ibu, yang secara tiba-tiba itu. Sedangkan aku sudah merasa nyaman dengan tempatku saat ini. Secara terbata ku jawab ” bu, bukankah dulu njenengan sing ngutus kulo ngerawat, nanam, mupuk supaya mereka menjadi bibit unggul. mriki sawahku kan nggih?” Herm… Bukan maksud untuk membangkang, tapi mengamalkan.. Hehe…
Mungkin seperti itu gaya orang yang terlanjur sok cinta dengan pekerjaannya, tapi.. Ya… Seperti itulah.
Bekerja itu tak hanya tentang uang, tak hanya tentang keenakan, bekerja tak hanya tentang jabatan. Yang ada aku, kita, dan mereka, bergerak menjadi Lebih baik. Bermanfaat bagi semua. Dan Semakin dengan Nya. Sehingga segalanya menjadi berkah.