Ada Apa dengan Generasi Strawberi ?
Akhir-akhir ini, kita disajikan dengan istilah baru tentang stigma pada anak-anak yang lahir di atas tahun 2000-an, dengan istilah generasi strawberi. Stigma ini diibaratkan bahwa generasi ini layaknya strawberi yaitu tampak indah di luar, tapi lembek atau tidak tangguh di dalamnya.
Mungkin bisa jadi stigma ini memang benar adanya, yaitu menggambarkan kondisi sesungguhnya pada generasi mereka ini. Tapi…… ?
Tapi, jika menelisik lebih dalam lagi, tentang buah strawberi yang tidak berdiri sendiri, kehadiran buah ini dari mana, dan seperti apa petaninya merawatnya. Diantaranya strawberi itu ada bijinya, ada induknya, dan siapa induknya ? Strawberi juga ada petaninya, jika kita bertanya lebih dalam lagi, siapa petaninya ? sudah pasti kita sudah bisa menjawab pertanyaan tersebut.
Kita bedah pelan – pelan ya, mungkin sebelum kita mengenal ]adanya generasi yang berstigma strawberry ini kita muhasabah dulu diri kita selaku orang tua mereka, apa yang kita lakukan pada anak-anak ini, yang secara fitrah harusnya tumbuh sebagai pribadi yang tangguh, tapi kenyataannya mereka rapuh dan dan lembek. Nah, dari sini jelas akan terlihat bagaimana cara dan sikap kita dalam mengajar anak – anak adalah cerminan dari sikap mereka.
Pertama. Sebagian besar orang tua saat ini yaitu mereka yang tumbuh sekarang berasal dari orang tua yang pindah strata kelas, dari low-midle menjadi midle-high , rata – rata mereka yang mengalami masa demikian ini mereka dulunya merasa hidupnya sangat berat dan tak ingin pengalaman buruk yang telah dialaminya masa lampau itu kemudian tidak ingin terjadi kepada anak dan keturunannya.
Apa dampaknya ? Nah, dengan orang tua bersikpa demikian itu jelas berdampak pada anaknya. Mereka terlalu memberikan kemudahan jalan bagi anaknya. Orang tua selalu banyak memberikan fasilitas yang sesungguhnya tidak diperlukan oleh anak. Mungkin, bisa jadi sekarang kita dimudahkan dengan teknologi, mesin cuci misalnya. Tapi sebenarnya anak masih bisa punya kontribusi melakukan dengan cara memasukkan baju, memberi sabun dan kemudian menjemurnya. Tapi faktanya, beberapa orang tua merasa itu bagian dari pengalaman tak menyenangkan yang seharusnya anak tidak perlu merasakan sekarang. Padahal, menurut penelitian, ketangguhan yang didapat anak – anak bisa diajarkan dengan memberi tugas-tugas kecil di dalam rumah pada anak.
Kedua. Salah kaprah akademis. Selama ini, akademis hanya diartikan kemampuan anak dalam merespon buku paket. Padahal akademis itu jauh lebih luas dari itu. Kemampuan anak menggunakan teori untuk sesuatu yang kontekstual, logika berpikir , dan kemampuan literasi juga bagian dari akademis. Belajar anak terlalu sempit, hanya mengandalkan buku paket dan tidak kontekstual yang berhubungan dengan hidup anak. Jadinya, anak mampu menyelesaikan soal mata pelajaran yang ada di buku paket, tapi kemampuannya menyelesaikan masalah hidupnya rendah, karena tidak pernah mempelajarinya.
Ketiga. Semua serba instant. Kita sebagai orang tua, ingin hasil yang buru-buru. Dan akhirnya beberapa dari kita mengasuh mereka tidak sesuai dengan usia perkembangannya. Anak baru masuk sekolah 2-3 bulan, orang tua sudah panik dengan anak yang belum bisa membaca, padahal anak juga baru usia 4-5 tahun. Apa dampaknya ? Banyak perkembangan awal anak yang tidak terstimulasi dengan tuntas karena orang tua fokus ingin dapat hasil segera, dan ini kemudian mengakibatkan anak tumbuh tidak matang.
Keempat. Dunia sudah berubah, dan kita sebagai orang tua tidak sigap dengan perubahan itu. Kita tidak menyiapkan diri dengan bekal ilmu yang cukup dalam pengasuhan kepada anak kita. Padahal, semua amal itu perlu landasan ilmu yang cukup.
Jika sudah seperti ini, patutkah kita memberikan stigma pada mereka ? lantas dalam hal ini siapa yang bersalah dengan adanya stigma tersebut?
Mari Bersama – sama mengupayakan anak kita menjadi generasi yang Tangguh, dengan mempersiapkan ilmu parenting dan kepengasuhan kepada anak kita dengan baik dan cukup.