Kisah Habib an-Najjar dalam Surat Yasin
Namanya memang tidak disebutkan dalam al-Quran. Tetapi perjuangannya merupakan kisah inspiratif yang menjadi headline utama dalam surah Yasin. Dia datang untuk menerima ajakan tiga orang Rasul yang diutus untuk berdakwah kepada ashabul qaryah (para penduduk Negeri Antiokia).
Mereka bertiga didustakan oleh kaumnya. Lalu datanglah lelaki dari ujung kota, berprofesi sebagai tukang kayu, berpenampilan sederhana, bertubuh pendek, tapi berhati mulia, menyambut dan membantu dakwah para Rasul. Dialah Habib an-Najjar.
Dengan semangat berkobar, tanpa rasa takut akan dilukai, Habib mengajak orang-orang untuk menyambut dakwah tiga orang Rasul yang tulus ikhlas mendatangi mereka.
Selanjutnya, kisah inspiratif tentang Habib an-Najjar dan kaumnya, terbentang dalam sembilan ayat, 20-29 surah Yasin; yang disebut sebagai jantung al-Quran: menjadikannya sangat penting untuk terus dikaji dan ditadabburi.
Berikut ini intisari kisah berikut butiran-butiran hikmah yang terkandung di dalamnya.
Pertama: Mengabdi sepenuh hati
وَجَاۤءَ مِنْ اَقْصَا الْمَدِيْنَةِ رَجُلٌ يَّسْعٰى قَالَ يٰقَوْمِ اتَّبِعُوا الْمُرْسَلِيْنَۙ
“Dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki dengan bergegas dia berkata, ‘Wahai kaumku! Ikutilah utusan-utusan itu.’”
اتَّبِعُوْا مَنْ لَّا يَسْـَٔلُكُمْ اَجْرًا وَّهُمْ مُّهْتَدُوْنَ
“Ikutilah orang yang tidak meminta imbalan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”
وَمَا لِيَ لَآ اَعْبُدُ الَّذِيْ فَطَرَنِيْ وَاِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ
“Dan tidak ada alasan bagiku untuk tidak menyembah (Allah) yang telah menciptakanku dan hanya kepada-Nyalah kamu akan dikembalikan.”
ءَاَتَّخِذُ مِنْ دُوْنِهٖٓ اٰلِهَةً اِنْ يُّرِدْنِ الرَّحْمٰنُ بِضُرٍّ لَّا تُغْنِ عَنِّيْ شَفَاعَتُهُمْ شَيْـًٔا وَّلَا يُنْقِذُوْنِۚ
“Mengapa aku akan menyembah tuhan-tuhan selain-Nya? Jika (Allah) Yang Maha Pengasih menghendaki bencana terhadapku, pasti pertolongan mereka tidak berguna sama sekali bagi diriku dan mereka (juga) tidak dapat menyelamatkanku.”
اِنِّيْٓ اِذًا لَّفِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ
“Sesungguhnya jika aku (berbuat) begitu, pasti aku berada dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Yasin: 20-24)
Seseorang menghambakan diri kepada Allah karena beberapa alasan. Di antaranya;
Pertama, merasakan dan menghayati keagungan Allah. Maka dia meyakini hanya Allah yang patut disembah. Keyakinan itu, menuntunnya untuk menghambakan diri pada Allah, dalam keadaan bagaimana pun.
Kedua, beribadah karena telah merasakan kenikmatan yang dianugerahkan kepadanya, dan ia merasa tergantung kepada nikmat Allah.
Ketiga, beribadah karena mengharapkan pahala dari Allah dan takut akan siksaan-Nya.
Habib an-Najjar, termasuk golongan yang pertama. Dia sendiri berkata bahwa, “Tidak ada alasan bagi saya untuk tidak menyembah Allah, Dzat yang telah menciptakanku dan kepada-Nya kalian akan dikembalikan.”
Kalimat ini menggambarkan kesadaran yang timbul dari hati yang disinari dengan cahaya iman. Habib an-Najjar tetap beribadah kepada Allah sekalipun ditimpa malapetaka, kesengsaraan, dan cobaan-cobaan hidup yang lain.
Kata-katanya yang tegas itu menunjukkan keinsyafan bahwa seluruh yang ada padanya, jiwa dan raganya, hidup dan matinya, semua adalah milik Allah. Dia merupakan salah satu contoh ahli tauhid sejati yang mengabdi sepenuh hati kepada rabbil izzati.
Keimanan Habib an-Najjar, sesuai dengan iman yang dimaksud dalam firman Allah yang berbunyi,
قُلْ اِنَّ صَلَاتِيْ وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِيْ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ. لَا شَرِيْكَ لَهٗ ۚوَبِذٰلِكَ اُمِرْتُ وَاَنَا۠ اَوَّلُ الْمُسْلِمِيْنَ
“Katakanlah (Muhammad), ‘Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya; dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri.”(QS. al-An’am: 162-163)
Kedua: Potret dai sejati
قِيْلَ ادْخُلِ الْجَنَّةَ ۗقَالَ يٰلَيْتَ قَوْمِيْ يَعْلَمُوْنَۙ
“Dikatakan (kepadanya), ‘Masuklah ke surga.’ Dia (laki-laki itu) berkata, ‘Alangkah baiknya sekiranya kaumku mengetahui,’”
بِمَا غَفَرَ لِيْ رَبِّيْ وَجَعَلَنِيْ مِنَ الْمُكْرَمِيْنَ
“Apa yang menyebabkan Tuhanku memberi ampun kepadaku dan menjadikan aku termasuk orang-orang yang telah dimuliakan.” (QS. Yasin: 26-27)
Selain mendeklarasikan ketauhidan yang begitu kokoh, lalu menyampaikan hujjah pada kaumnya untuk beriman kepada Allah, Habib an-Najjar menunjukkan suatu sifat yang sangat mulia: pemaaf dan penuh kasih sayang.
Dalam literatur tafsir disebutkan; setelah kaumnya mendengar pernyataan Habib an-Najjar, mereka merajamnya sampai ia menghembuskan napas penghabisan. Buya Hamka dalam tafsir Al-Azhar menambah keterangan: perutnya mereka injak-injak. Ususnya sampai keluar. Terburai berceceran.
Pada detik-detik terakhir kehidupannya itulah, ia masih sempat mengucapkan kata-kata yang berisi harapan, “Duhai, alangkah baiknya, jika kaumku mengetahui karunia Allah yang Dia anugerahkan kepadaku. Seandainya mereka mengetahui hal ini, niscaya mereka akan beriman pula.”
Qatadah rahimahullah, mufasir terkemuka dari kalangan tabi’in, berkata tentang Habib an-Najjar, “Kaumnya merajamnya dengan batu, dan dia tetap berdoa, ‘Wahai Rabbku, tunjukilah kaumku, karena mereka tidak mengetahui.”
Perhatikanlah, ini kalimat luar biasa dari seorang korban yang teraniaya. Amat tinggi nilai budinya. Begitu luas pintu maafnya. Betapa besar cinta kasihnya. Alangkah mulia pengorbanannya. Dialah potret dai sejati. Meski bukan nabi, bukan rasul, bukan ulama, tetapi ia lelaki yang sangat peduli terhadap urusan umat.
Dalam Tafsir al-Munir, Syaikh Wahbah az-Zuhaili, menyampaikan pandangan Imam Al-Qurthubi yang menuturkan bahwa di dalam ayat ini terkandung sebuah pengajaran yang agung, pengertian tentang keharusan menahan emosi, tetap bersikap santun dan lapang dada terhadap orang-orang yang bodoh dan arogan.
“Tidakkah Anda lihat bagaimana laki-laki Mukmin itu (Habib) tetap mengharapkan kebaikan bagi orangorang yang telah menganiaya, menyiksa dan bahkan membunuh dirinya, padahal mereka adalah orang-orang kafir paganis penyembah berhala.”
Habib an-Najjar mengajarkan makna yang sesungguhnya dari firman Allah Ta’ala,
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَاَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِيْنَ
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.” (QS. al-A’raf: 199)
Dia tidak mau ambil pusing, tidak menggubris,dan menghiraukan sama sekali kezaliman kaumnya.
Ketiga: Keutamaan berjuang fi sabilillah
Maksud dari fi sabilillah, adalah berjuang di jalan Allah dengan tulus dan ikhlas. Hikmah ketiga ini menitik beratkan pentingnya menjaga niat dalam berjuang. Dikutip dari ayat 21; tentang keikhlasan tiga orang Rasul yang terbebas dari hasrat duniawi. Juga disimpulkan dari ayat 26 dan 27; tentang ketulusan Habib an-Najjar.
Ketika menafsirkan surah Yasin, tepatnya di bagian kisah ini, Buya Hamka bertutur:
“Setelah ruhnya pindah ke alam barzakh, kedatangannya telah disambut oleh suara, yaitu suara malaikat atau perintah Tuhan mempersilakannya masuk ke dalam syurga. Ayat ini adalah penambah keyakinan dan penebalan Iman bagi tiap orang yang berjuang menyerukan Kebenaran, melakukan seruan dan da’wah kepada jalan Tuhan.
Biarpun dia dianiaya sampai mati, namun matinya adalah syahid. Kesakitan maut hanya sebentar saja dirasakan. Entah dua tiga menit saja. Yang selebihnya adalah nikmat dan rahmat Ilahi. Pintu syurga dibukakan dan berbagai sambutan kehormatan diberikan dan dimasukkan dalam golongan orang-orang yang dimuliakan.”
Demikianlah keutamaan orang yang berjuang di jalan Allah. walaupun Habib bukan seorang rasul., ulama atau hartawan yang terpandang, dia semangat berdakwah; mengajak kaumnya untuk menerima al-Haq.
Dalam konteks perjuangan fi sabilillah, apapun perannya, selama dikerjakan dengan tulus dan ikhlas, ia bernilai tinggi dan balasannya surga.
Keempat: Berpihak kepada al-Haq
Jika ditinjau dari kapan surah Yasin diturunkan, akan semakin jelas bahwa kisah Habib an-Najjar dan ashabul qaryah ditujukan untuk penguatan aqidah dan penanaman akhlak yang menjadi tema utama surah-surah Makkiyah, yakni saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam belum hijrah ke Madinah.
Inilah cara Allah dan Rasul-Nya mendidik dan membentuk kepribadian para sahabat. Disajikannya berbagai kisah inspiratif dari umat terdahulu serta perjuangan para rasul dan orang-orang yang membela mereka.
Generasi sahabat sangat menghayati ragam kisah perjuangan itu hingga masuk ke alam bawah sadar mereka bahwa di setiap masa, kebenaran pasti memiliki pendukung yang memperjuangkannya, meskipun berjumlah sedikit dan minoritas, sementara para pendukung kebatilan berjumlah banyak dan mayoritas.
Dengan kesadaran yang demikian itu; semangat juang semakin mengkristal. Mental siap berkorban kian menggelora.
Dalam kisah inspiratif ini juga terdapat peringatan bagi musyrikin Makkah penyembah berhala, agar jangan sampai mereka bernasib sama seperi ashabul qaryah yang dibinasakan Allah hanya dengan satu pekikan dahsyat, tanpa harus susah payah mengirim pasukan malaikat.
وَمَآ اَنْزَلْنَا عَلٰى قَوْمِهٖ مِنْۢ بَعْدِهٖ مِنْ جُنْدٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَمَا كُنَّا مُنْزِلِيْنَ
Wa mā anzalnā ‘alā qaumihī mim ba’dihī min jundim minas-samā`i wa mā kunnā munzilīn.
“Dan setelah dia (meninggal), Kami tidak menurunkan suatu pasukan pun dari langit kepada kaumnya, dan Kami tidak perlu menurunkannya.”
اِنْ كَانَتْ اِلَّا صَيْحَةً وَّاحِدَةً فَاِذَا هُمْ خَامِدُوْنَ
Ing kānat illā ṣaiḥataw wāḥidatan fa iżā hum khāmidụn.
“Tidak ada siksaan terhadap mereka melainkan dengan satu teriakan saja; maka seketika itu mereka mati.” (Yasin: 28-29)