DASAR FIQIH MUAMALAH
Fikih Islam mengatur seluruh aspek kehidupan baik secara vertikal maupun secara horizontal, baik yang berkaitan dengan individu, keluarga, masyarakat, bahkan yang berhubungan dengan negara baik saat damai maupun perang. Karena itu, secara garis besar, para fukaha’ (ulama’ fikih) membagi fikih menjadi dua macam, yaitu: fikih ibadah yang mengatur hubungan manusia secara vertikal dengan Allah dan fikih mu’amalah yang mengatur hubungan sosial antar sesama manusia.
Fikih mu’amalah adalah hukum Islam yang mengatur hubungan antara satu individu dengan individu lainnya, yang bertujuan untuk menjaga hak-hak manusia, merealisasikan keadilan, rasa aman, serta terwujudnya keadilan dan persamaan antara individu dalam masyarakat (kemaslahatan) serta menjauhkan segala kemudaratan yang akan menimpa mereka.
1. Prinsip-Prinsip Fikih Mu’amalah
a) Pada dasarnya segala bentuk muamalah adalah mubah.
اَلأَصْلُ فِى الْأَشْيَاءِ (فِى الْمُعَامَلاَتِ) الإِبَاحَةُ، إِلاَّ مَا دَلَّ الدَّلِِيْلُ عَلَى خِلاَفِهِ
“Pada dasarnya (asalnya) pada segala sesuatu (pada persoalan mu’amalah) itu hukumnya mubah, kecuali jika ada dalil yang menunjukkan atas makna lainnya.”
b) Muamalah dilakukan atas dasar sukarela, tanpa mengandung unsur-unsur paksaan.
يآيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَ تَأْكُلُوْا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَضٍ مِنْكُمْ وَلاَ تَقْتُلُوْا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh diri kamu sekalian, sesungguhnya Allah adalah maha penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa’: 29)
c) Muamalah dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindari mudharat dalam bermasyarakat.
عَنْ عُباَدَةَ ابْنِ صَامِتِ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قََضَى أَنْ لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ. – رواه أحمد وابن ماجة
“Dari Ubadah bin Shamit; bahwasanya Rasulullah saw menetapkan tidak boleh berbuat kemudharatan dan tidak boleh pula membalas kemudharatan”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
Dalam kaidah fiqhiyah juga disebutkan;
اَلضَّرَرُ يُـزَالُ
“Kemudharatan harus dihilangkan”
d) Muamalah dilaksanakan dengan memelihara nilai-nilai keadilan, menghindari unsur-unsur penganiayaan dalam pengambilan kesempatan.
فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوْا فَأْذَنُوْا بِحَرْبٍ مِنَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوْسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُوْنَ وَلاَ تُظْلَمُوْنَ. -البقرة: 279
“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari mengambil riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. (QS. Al-Baqarah: 279)