Kupatan
Wanita itu terlihat sibuk merangkai janur, daun muda dari pohon kelapa, untuk dianyam menjadi sebuah kerangka ketupat. Wajahnya yang terlihat lebih tua dari usianya, menyiratkan sebuah kondisi hidup yang berat dan menekan. Tanganya yang kasar akibat beban kerja yang berat tidak memperlihatkan kelelahan. Dengan lihai ia menyelipkan janur-janur itu, menyulapnya menjadi sebuah kerangka ketupat berbentuk wajik. Beberapa kerangka yang telah jadi ia letakkan di sebuah tempat yang terbuat dari anyaman bambu untuk kemudian diisi dengan beras dan dimasak. Hari ini adalah acara kupatan.
‘’Boni bantu ya, Bu?’’ ucap Boni yang baru saja datang dari sungai.
‘’Tidak usah. Tinggal beberapa saja. Kamu siap-siap berangkat mengaji saja” jawab ibunya
‘’Ayah kapan pulang ya, Bu?. Boni kangen untuk bisa kupatan bersama ayah.’’
Pertanyaan itu seperti cambuk yang menyambar seketika langsung menuju relung hatinya yang paling dalam. Raut wajahnya berubah. Tapi sebisa mungkin ia harus menyembunyikan perasaan itu dari anak semata wayangnya.
‘’Ayah masih bekerja Nak. Insyaallah tahun depan pulang” sebuah jawaban yang tidak asing terdengar dari ibunya.
‘’ Boni sudah bosan dengan jawaban itu.’’
Ucapan anaknya seperti cambuk kedua yang datang menghujam di hatinya untuk kedua kali. Tidak bisa disalahkan jika anaknya menjawab seperti itu. Sudah empat kali anaknya bertanya tentang hal yang sama dan begitu pula empat kali jawaban yang sama pula ia sampaikan kepada anaknya.
Ia memperhatikan ekspresi anaknya yang kecewa untuk kesekian kalinya. Tanganya kembali sibuk memainkan janur. Boni berlalu dari hadapannya. Wanita itu tiba-tiba larut dalam sebuah angan. Empat tahun silam.
‘’Teganya Ayah melakukan ini padaku dan anak kita.’’ ucapnya sambil marah
‘’Ayah khilaf , Bu. Maafkan ayah” rayu suaminya.
‘’Sebaiknya ayah nikahi gadis itu.’’
Sejak kejadian tersebut, hidupnya berubah. Awalnya suaminya masih sering datang dan memberikan nafkah untuknya dan anak semata wayang mereka. Lambat laun suaminya jarang pulang dan uang yang biasa masih dikirimkan untuk biaya hidup juga mulai tidak ada. Terpaksa untuk menghidupi dirinya dan anaknya, ia harus berjuang dan bekerja. Ia juga dibantu oleh saudara-saudaranya yang kasihan kepadanya. Ia ingat betul kejadian itu tepat ketika acara kupatan.
‘’Boni berangkat Bu’’ Suara Boni membuyarkan lamunannya.
‘’Hati-hati, Nak. Belajar yang baik’’
‘’Boni harap ayah benar-benar pulang hari ini’’
Ia berusaha tersenyum untuk menyembunyikan kesedihannya.
‘’Berdoa saja’’
Ia manatap punggung anaknya yang perlahan lenyap di kejauhan. Tangannya kembali disibukan oleh anyaman janur yang masih tersisa. Setelah semuanya selesai, ia mulai mengisinya dengan beras yang sebelumnya telah direndam. Perlahan ia mengisi satu-persatu kerangka ketupat dengan beras. Kemudian ia memasaknya hingga matang.
Sambil menunggu ketupat yang dimasak, ia memulai pekerjaan lainnya. Mencuci pakaian tetangga. Sejak uang dari suaminya tidak lagi datang, ia bekerja apapun asalkan bisa mendapatkan uang untuk biaya hidup dan sekolah anaknya. Awalnya ia pergi kerumah-rumah tetangganya untuk membantu bersih-bersih dan mencuci. Tapi sejak ia dibantu salah satu tetangganya dengan meminjaminya uang untuk dibelikan beberapa mesin cuci sehingga dia bisa membuka cuci pakain di rumahnya. ia membayar secara angsur dari hasil mencucikan pakaian tetangganya.
Sejak saat itu ia bisa mendapatkan uang untuk biaya hidup dan sekolah anaknya. Dari hasil itu juga, ia bisa menyimpan untuk membeli barang-barang lain. Ia pun perlahan bisa melupakan suaminya yang entah sekarang bagaimana keadaanya. Meskipun setatusnya masih menjadi istri dari suaminya, namun ia merasa tidak mempermasalahkannya. Selain ia ingin fokus membesarkan anak semata wayangnya, ia juga tidak tertarik untuk menikah kembali. Beberapa duda dari tetangganya mencoba melamarnya untuk dijadikan istri, tapi ia menolak dengan alasan ingin mengurus anaknya.
‘’Assalamualaikum’’ terdengar suara seseorang dari luar.
‘’Walaikumsalam’’ ia menjawab. Ia segera berjalalan keluar untuk melihat siapa orang yang bertamu itu. Sesampainya di pintu, ia membuka dengan perlahan dan ia terkejut setengah mati ketika mendapati wajah yang berdiri tepat di depannya. Ia tak bisa berkata-kata. Tatapan kosong matanya tertuju pada wajah yang masih sedikit ia ingat
‘’Maafkan ayah, Bu’’ suara laki-laki yang sepontan menyungkur dibalik kedua kakinya
Ia hanya diam. Tak ada kalimat ataupun kata yang bisa keluar dari kedua bibirnya. Ia bengong menatap keheningan. Suara tangisan laik-laki yang masih bersimpuh itu tidak membuatnya tergerak sekalipun
‘’Aku tahu kamu marah dan kecewa.’’
Ia masih terdiam. Perlahan ia memandang kepala suaminya. Ia memapah suaminya untuk berdiri dan duduk di kursi tamu. Ia melihat suaminya mebawa koper besar. Ia tidak bisa menebak apa yang sebenarnya terjadi. Keduanya terdiam dan saling pandang. Beberapa saat mereka tidak ada yang berkata.
‘’Aku telah di tipu’’ tiba –tiba suara laki-laki itu muncul’’ anak yang dikandungnya ternyata bukan anakku’’
Wanita di hadapannya terkejut dengan pengakuan suaminya. Ia mencoba untuk tetap tegar dan diam. Suara hatinya mulai bergejolak. Disatu sisi ia kasihan dengan apa yang barusan ia dengar, tapi di sisi lain ia juga tidak bisa menerima apa yang telah laki-laki ini lakukan kepadanya dan anaknya
‘’Tolong maafkan aku. Dan biarkan aku kembali untuk keluarga ini’’ suaranya memohon
Ia hanya diam. Rasa kasihan dan cintanya yang masih tersisa jelas mulai menguasai hatinya. Ia tetap diam.
‘’Ayah janji tidak akan mengulangi kesalahan yang sama, Bu’’
Wanita itu jelas mulai terlihat luluh. Dalam hatinya mulai mengatakan untuk memaafkan dan menerima kembali suaminya. Tapi sedikit rasa kecewanya masih berusaha melawannya.
‘’Ayah…’’suara Boni mengejutan
Seketika boni berlari menghampiri ayahnya. Memeluknya dengan erat, tidak ada kata yang terucap dari keduanya. Dekapan erat dan air mata mereka telah mewakili semua ungkapan yang ingin diucapkan lewat bahasa verbal.
Wanita itu hanya memandangi adegan mengharukan itu dengan tatapan datar dan sedikit senyum. Ia bahagia melihat anaknya yang pada akhirnya bisa melihat dan memeluk ayahnya kembali. Ia tidak bisa egois. Biar bagaimanapun suami yang telah menelantarkannya selama empat tahun ini tetap adalah ayah bagi anaknya, dan ia tahu sekali apa yang diharapkan anaknya selama ini.
Batinnya kembali bergejolak. Ia bingung harus mengatakan apa dan harus bagaimana. Ia hanya diam sambil menatap kedua orang yang ada di hadapannya.
‘’Ayah tidak akan pergi lama lagi kan?’’
Suara anaknya semakin membuatnya rapuh.
‘’Ayah janji, Nak, tidak akan meninggalkan kalian lagi’’
Tiba-tiba air mata wanita itu menetes. Entah bahagia atau sedih, Hanya dia yang tahu. Suasana mengharukan itu masih berlanjut. Sementara wanita itu beranjak ke belakang untuk melanjutkan pekerjaannya dan membiarkan mereka menghabiskan rasa rindu berdua.
***
Setelah Salat magrib, Boni dengan wajah gembira bersama ayahnya berangkat ke masjid untuk acara tradisi kupatan. Mereka terlihat sangat bahagia. Wanita itu hanya bisa memandangi dari belakang. Ia ikut bahagia ketika melihat anaknya sangat bahagia dengan kehadiran ayahnya. Ia tidak boleh merusak kebahagiaan itu. Kebahagiaan yang hanya bisa dirasakan anaknya ketika bersama ayahnya.
Ia kembali larut dalam kebimbangan. Ketika makan malam, ia masih bersikap sangat dingin kepada suaminya. Sehingga tidak ada sebuah percakapan. Wanita itu hanya bersikap wajar. Sementara suaminya belajar memahami sikap istrinya. Ia sadar dengan apa yang telah ia lakukan kepada istrinya.
Ia segera tersadar ketika ada tetangganya yang datang untuk mengambil cucian. Ia segera menyambut tamunya dan menyerahkan cucian yang telah disetrika dan dibungkus rapi dengan plastik. Setelah itu ia kembali mencuci beberapa pakaian yang barusan diantar oleh pelangganya yang lain.
‘’ Ayah benar-benar minta maaf, Bu’’suara suaminya dari arah belakang.
Ia hanya diam sambil masih sibuk memasukkan pakaian ke dalam mesin cuci.
‘’Ayah tahu ini berat, tapi ayah sungguh-sunggu menyesal dan akan memperbaiki semuanya’’
Mendengar ucapan suaminya yang terdengar lirih, iapun luluh
‘’Demi Boni. Hanya demi Boni. Aku harap kau menepai janjimu’’
Ucapan itu memebuat laki-laki itu lega. Ia segera meninggalkan istrinya. Wanita itu tiba-tiba meneteskan air mata. Jauh dari lubu hatinya ia bahagia melihat anaknya akhirnya bisa bertemu ayahnya. Dan bahagia akhirnya keluarganya bisa berkumpul kembali.
Joe
Pengajar di SDIT Al Uswah Tuban