Living Hadits
Living hadis terbentuk dari Genealogi, Teori, dan Aplikasi. Genealogi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri atas dua kata, yaitu “genca‟ yang artinya keturunan, dan “logos‟ yang artinya pengetahuan. Pada awalnya, genealogi membahas tentang silsilah keturunan atau silsilah keluarga dan juga sejarahnya yang juga disebut degan genealogi biologis, bisa juga diartika plasma pembawa sifat-sifat keturunan dan ilmu yang mempelajari tentang keturunan. Genealogi juga bisa diartikan dengan yang saling bergantung antara dua hal, yaitu yang muda berasal dari yang tua, dan murid berasal dari gurunya. Jadi, sebagai salah satu komponen adanya living hadis, genealogi dapat difahami sebagai hal yang saling bergantung antara dua hal, yaitu transmisi pengetahuan hadis dari yang tua ke yang muda atau dari guru ke murid dan dari mana kemunculannya. Teori adalah hal yang bisa digunakan, dan Aplikasi adalah tekniknya.
Dalam masyarakat ada tiga bentuk variasi dari living hadis yaitu tradisi lisan, tradisi tulis, dan tradisi praktek.
1. Tradisi Tulis Dalam perkembangan living hadis, tradisi tulis menulis sangatlah penting. Tulis menulis tidak hanya sebatas sebagai bentuk ungkapan yang sering dalam tempat-tempat yang strategis seperti di bus, sekolahan, masjid, pesantren. dll. Ada juga tradisi yang kuat dalam khazanah khas Indonesia yang bersumber dari hadis Nabi seperti yang terpampang di tempat-tempat tersebut. Akan tetapi tidak semua yang terpampang berasal dari hadis Nabi, atau diantaranya dianggap sebagai hadis Nabi di dalam masyarakat dengan tujuan untuk membangkitkan jiwa nasionalisme, menjaga kebersihan dan menciptakan suasana yang nyaman seperti “Kebersihan sebagian dari iman”, “ḥubbul waṭon minal īmān”, dan “Orang beriman membuang sampah pada tempatnya”. Membahas dan memaknai hadis tidak bisa diartikan secara tekstual belaka. Diperlukan membaca dan menelaah latar belakang adanya hadis tersebut karena hadis tidak bisa berlaku umum dalam semua keadaan. Maka dari itu, pemahaman terhadap hadis Nabi harus dilakukan dengan pendekatan temporal, lokal, dan kontekstual sebagaimana yang digagas oleh M. Syuhudi Ismail.
2. Tradisi Lisan Tradisi lisan dalam living hadis sebenarnya muncul seiring dengan praktik yang dijalankan oleh umat Islam. Contoh living hadis tradisi lisan yaitu tradisi membaca qunut dalam sholat Maghrib di Pondok Pesantren Wahid Hasyim Yogyakarta. Hal tersebut dilaksanakan di asrama al-Hikmah dan an-Najah yang dipimpin oleh Bapak Syaiful. Beliau melaksanakan sholatMaghrib dengan qunut di rakaat terahir dengan berdasarkan pada Hadis yang diriwayatkan oleh Barra’ ra: Mengabarkan kepada kami Ubaidillah bin Sa’id dari Abdurrohman dari Sufyan dan Syu’bah dari ‘Amr bin Murrah, dan menyampaikan kepada kami ‘Amr bin ‘Ali dia berkata mengabarkan kepada kami Yahya dari Syu’bah dan Sufyan, mereka berkata ‘Amr bin Murrah mengatakan kepada kami dari Ibnu Laila dari Barra’ bin ‘Azib “Sesungguhnya Nabi saw melakukan Qunut pada sholat Shubuh dan Maghrib”. (HR. An-Nasa’i). Adapun qunut yang dibaca dalam sholat Maghrib bukanlah qunut Nazilah melainkan qunut biasa seperti ketika sholat Shubuh. Hal tersebut dengan alasan filosofisnya yaitu qunut di waktu Shubuh adalah untuk memulai hari yang siang, sedangkan qunut di sholat Maghrib karena untuk memulai hari yang malam.
3. Tradisi Praktik Tradisi praktik dalam living hadis cenderung banyak dilakukan oleh umat Islam. Hal ini didasarkan atas sosok Nabi Muhammd saw, dalam penyampaian ajaran agama Islam. Salah satu contohnya adalah tradisi mandi balimau yang dilaksanakan di daerah Kuntu, Riau. Tradisi tersebut digunakan sebagai salah satu cara berbahagia menyambut datangnya bulan Ramadhan. Hal tersebut dikaitkan dengan proses Islamisasi di daerah tersebut karena tradisi mandi belimau sudah ada berabad-abad sejak datangnya Islam di Iindonesia. Tradisi ini diyakini berdasar pada salah satu hadis Nabi saw.yang diyaini oleh masyhur masyarakat, yang ditemukan dalam Kitab Durratun Nasihin: “Siapa lega hati menyambut kehadiran bulan Ramadhan, pasti Allah mengharamkan tubuhnya atas neraka apa saja”.Tradisi tersebut merupakan perwujudan dari rasa syukur masyarakat kepada Allah SWT., atas segala nikmat yang telah diberikan kepada manusia.