Betapa sedih rasanya jika menatap realitas kaum Muslimin dewasa ini. Mereka diselimuti oleh kemiskinan ideologi, moral, dan material. Mereka telah terjangkiti virus hubbud dunya wa karahiyatul maut (kecintaan secara berlebih-lebihan terhadap dunia dan takut mati). Mereka berbuat zhalim karena miskin iman. Dan mereka sering melakukan tindakan yang tidak terkontrol kerena miskin ilmu.
Persoalan demi persoalan yang muncul menimpa bangsa Indonesia saat ini, pada dasarnya dilatarbelakangi oleh mental individu sebagai masyarakat yang lemah. Mental memiliki arti jiwa, nyawa, sukma, roh yang berhubungan dengan pikiran, akal, ingatan atau proses yang berasosiasi dengan pikiran, akal dan ingatan yang dapat mempengaruhi perilaku individu. Atau paduan secara menyeluruh antara berbagai fungsi-fungsi psikologis dengan kemampuan menghadapi krisis-krisis psikologis yang menimpa manusia yang dapat berpengaruh terhadap emosi dan dari emosi ini akan mempengaruhi pada kondisi mental. Jadi, mental adalah representasi kepribadian yang merupakan kebulatan yang dinamik yang dimiliki seseorang yang tercermin dalam sikap dan perbuatan atau terlihat dari psikomotornya.
Alangkah jauhnya jarak kaum muslimin dengan kitab sucinya? Alquran adalah pegangan hidup setiap muslim, petunjuk jalan agar tidak tersesat dalam mengarungi bahtera kehidupan. Jika kita menjadikan Al Quran, tentu akan diberkahi penuh keselamatan. Dan jika kita berpaling darinya, maka tentu akan ditimpa oleh berbagai bencana. Salah satu hal yang paling dirisaukan oleh Rasulullah SAW adalah ketika umat Islam sudah terjebak ke dalam cinta berlebih-lebihan kepada dunia. Dalam kamus Islam, kondisi ini dikenal dengan istilah hubbud dunya atau gila dunia. Hubbud dunya adalah sumber kehancuran umat. Penyakit ini sangat berbahaya karena dapat melemahkan dan menggerus keimanan seseorang kepada Allah SWT. Ketika seorang muslim sudah menjadikan dunia ini sebagai tujuannya, maka itu alamat dia telah terjebak dalam hubbud dunya. Padahal, dalam prinsip akidah Mukmin, dunia ini bukanlah tujuan. Melainkan hanya alat untuk mencapai kebahagiaan di akhirat kelak. Agar tidak mudah silau dengan kemegahan dunia lain. Dan kita tanamkan kembali bahwa sumber kemuliaan yang tidak akan pernah kering oleh perputaran peradaban adalah berasal dari Allah, Rasul-Nya dan kaum beriman sendiri. Bukan atribut yang diimpor dari asing. Dengan meraih kembali harga diri itu, kaum Muslimin akan bersikap tegas terhadap orang kafir dan tumbuh kasih sayang kepada orang-orang beriman.
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha mengetahui.” (QS: Al Maidah (5) : 54).
Sebagai seorang Mukmin, apa yang mesti kita lakukan agar terhindar dari penyakit hubbud dunya ini? Tentunya kita harus senantiasa memantapkan akidah. Salah satunya adalah dengan memperbanyak mengingat kematian. Orang yang rajin mengingat mati, insya Allah akan mampu memelihara hatinya dari hubbud dunya. Sumber kemuliaan hakiki umat Islam diajarkan untuk tidak bangga dengan atribut yang semu, kebanggaan etnis, kekayaan, warna kulit, asesoris lahiriyah. Karena hal itu akan membawa kehancuran dan penyesalan tiada akhir. Tetapi, Islam mengajarkan pemeluknya untuk bangga menjadi hamba Allah yang taat, patuh terhadap hukum-Nya. Tidak meletakkan dahi kepada siapapun. Karena dahi ini hanya layak diletakkan untuk ta’zhim dan hormat kepada Zat Yang Maha Kuat dan Maha Perkasa, Allah SWT. Kebanggan terakhir ini akan mendatangkan kemuliaan dan kemenangan.
Sesungguhnya pemilik kekuasaan tanpa pensiun dini, kekayaan yang tidak pernah habis, ilmu yang tidak pernah kering, hanyalah Allah Subhanahu Wata’ala. Dia berkuasa menurunkan orang yang tadinya memiliki kedudukan tinggi menjadi hina dalam sekejap. Dan Dia berkuasa mengangkat seseorang yang tidak diperhitungkan, orang kecil, menjadi mulia dalam waktu yang singkat pula. Kekuasaan, harta, ilmu, yang dimiliki oleh manusia hanyalah hak guna dan hak pakai. Bukan hak milik.
Kita perlu muhasabah, bukan sekedar mempertanyakan apakah kepemilikan kita itu sudah sah secara formal, tetapi apakah yang menjadi milik kita menambah kebaikan diri kita dan bermanfaat untuk banyak orang (barakah)? Apakah jabatan kita memuliakan kita? Apakah harta kita menambah kebaikan keluarga kita? Apakah ilmu kita dirasakan manfaatnya oleh banyak orang? Apakah pengaruh kita semakin mendekatkan diri kita kepada Allah Subhanahu Wata’ala? Apakah anak dan isteri kita sebagai sumber kebahagian dan ketenteraman kita? Wallahu a’lamu bish shawab. (**Dari berbagai sumber)