Ada kaidah fiqih yang berbunyi:
مَنِ اجْتَهَدَ وَبَذَلَ مَا فِي وُسْعِهِ فَلاَ ضَمَانَ عَلَيْهِ وَكُتِبَ لَهُ تَمَامَ سَعْيِهِ
Barangsiapa bersungguh-sungguh mengerahkan kemampuannya, maka tidak wajib mengganti dan dianggap mengerjakan amalan secara sempurna
MUQADIMAH
Agama Islam merupakan agama yang toleran dan mudah. Di dalamnya tidak ada kesulitan ataupun kesempitan. Semua yang diperinthakna Allâh Subhanahu wa Ta’ala sesuai dengan kemampuan kita, tidak ada yang keluar dari kemampuan kita.
Namun terkadang dalam kondisi tertentu, seseorang tidak mampu melaksanakan perintah Allâh Subhanahu wa Ta’ala secara sempurna. Apabila ia tidak mampu melaksanakan perkara yang diperintahkan secara sempurna, maka yang wajib baginya ialah bersungguh-sungguh melaksanakannya dan mengerjakannya sesuai kemampuannya. Amalan yang ia kerjakan dalam keadaan seperti ini merupakan amalan yang sah.
Ketika seseorang telah mengerjakan perintah sesuai kadar kemampuannya, maka ia telah lepas dari beban perintah tersebut, meskipun ia tidak mengerjakannya secara sempurna. Tidak ada dosa baginya, dan tidak ada kewajiban mengulangi. Karena ia telah melaksanakan apa yang diperintahkan kepadanya secara syar’i. Bahkan termasuk kesempurnaan karunia Allâh Subhanahu wa Ta’ala , bahwa seorang mukallaf, jika telah melaksanakan perintah sesuai kadar kemampuannya, kemudian ada kekurangan dalam pelaksanaannya disebabkan ketidakmampuan, maka kekurangan itu tidak dianggap, dan ditulis pahala baginya semisal pahala orang yang mengerjakannya secara sempurna.
MAKNA KAIDAH
Sebagaimana telah diisyaratkan dalam uraian di atas, kaidah ini menjelaskan bahwa seseorang yang telah bersungguh-sungguh mengerahkan upayanya untuk melaksanakan suatu amalan, dan ia melaksanakan amalan itu sesuai kadar kemampuannya, maka ia telah terlepas dari lingkup tuntutan pelaksanaan amalan tersebut. Sehingga tidak ada kewajiban mengganti atau mengulanginya lagi, dan tidak ada dosa atasnya ketika meninggalkan bagian amalan yang ia tidak mampu mengerjakannya, bahkan ia dianggap melaksanakan amalan tersebut secara sempurna.
DALIL YANG MENDASARINYA
Kaidah ini masuk dalam keumuman ayat-ayat dan hadits yang menjelaskan tentang kemudahan dalam agama ini, dan masuk pula dalam keumuman kaidah al masyaqqah tajlibu taisir (kesulitan mendatangkan kemudahan).
Di antara dalil yang menjelaskannya ialah firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
Allâh tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. [al-Baqarah/2:286].
Imam Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan ayat ini mengatakan, “Maksud ayat ini adalah Allâh Subhanahu wa Ta’ala tidak membebani seorang pun diluar kemampuannya. Ini merupakan bentuk kelembutan, kasih sayang, dan kebaikan Allâh Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-Nya.”
Firman Allâh Azza wa Jalla ,
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allâh menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. [al-Baqarah/2:185].
Demikian pula Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu:
مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Apa-apa yang aku larang kalian darinya maka tinggalkanlah, dan apa-apa yang aku perintahkan maka kerjakanlah sesuai kemampuan kalian.
Dalam hadits ‘Imran bin Hushain:
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهَ قَالَ : كَانَتْ بِي بَوَاسِيْرُ ، فَسَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الصَّلاَةِ ، فَقَالَ : صَلِّ قَائِمًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ
Dari ‘Imran bin Hushain Radhiyallahu anhu, ia berkata: Aku pernah terkena penyakit bawasir, lalu aku bertanya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagaimana aku melaksanakan shalat, maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Shalatlah dengan berdiri, jika tidak mampu maka dengan duduk, jika tidak mampu maka dengan berbaring.”
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Umat telah bersepakat bahwa orang yang tidak mampu berdiri dalam shalat fardhu, maka boleh baginya shalat dengan duduk. Tidak ada kewajiban baginya untuk mengulangi shalat itu, dan tidak pula berkurang pahalanya, berdasarkan khabar (dari Nabi)”